Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

5 Oktober 2014

Ketika Hari Raya Just Like the Other Days


HARI RAYA –apakah itu Idul Fitri atau Idul Adha– tak terasa lagi indah. Indah yang sebenar-benarnya, yang menyusup hingga ke hati seperti yang kurasakan ketika masih bocah. Aku berangkat tidur pada malam dengan gema takbir sayup yang menghangatkan hati. Dan paginya dibangunkan oleh dingin dan azan milik  subuh sementara Mom di dapur memotong-motong ketupat dan menghangatkan gulai lontong. Aku pun terburu-buru ke sumur, mandi, berbedak wangi dan bersalin pakaian baru. Mom akan senang nanti melihat aku sudah bersih dan siap berangkat ke lapangan untuk shalat. Satu hal kecil dariku yang bisa membuatnya lebih bahagia hari itu.

Tapi anak-anak dan ponakanku? Mereka masih meringkuk tidur, melewatkan shalat subuh. Satu persatu mereka bangun untuk mandi kilat dan mengenakan pakaian menuju masjid. Mereka telah melewatkan hal penting; meninggalkan satu ibadah wajib untuk satu kegiatan sunat. Mereka memaknai hari raya hanya sebagai hari berkumpul keluarga, menikmati hidangan enak, peroleh uang ekstra dan baju baru.

Hari raya membebaskan mereka untuk berbuat yang agama kami tidak menghendakinya. Aku melihat ketidakberdayaan dan mungkin pembolehan atas tingkah laku mereka.

Oh sudahlah…nanti sadar sendiri. Tidak perlu ribut-ribut…ini hari raya, kata orangtua yang satu kepada yang lainnya. Hari raya jangan diusik dengan peringatan tentang tata tertib agama. Ooh begitukah???

Aku menjadi bertanya…, dimana kah kini berada pendidikan komunal, saling ingat dan memperingatkan di tengah kaum kerabat? Kenapa kami para orangtua tidak mampu lagi menegakkan dasar agama itu diantara kami?

Aku melihat kesombongan dan sifat pamer lebih berkuasa dibanding kerendahan hati. Mobil dan gadget baru, promosi jabatan, prestasi sekolah anak-anak….semua hal berlomba diungkapkan. Apakah ini tidak melelahkan? Bukankah semua itu diperoleh dengan cara keras dan penuh perjuangan…mengapa tak dibiarkan keberhasilan-keberhasilan itu menyelinap dengan damai ke semua hati dalam keluarga tanpa perlu banyak berkoar-koar….

Kalau begitu hari raya menjadi tak beda dengan hari-hari lain. Untuk apa kita berkumpul ketika ada hati yang diam-diam gelisah, terpinggirkan atau tidak setuju dengan ke-riya-an itu? Kenapa tak biarkan tawa renyah kita berderai dan kisi-kisi hati yang pernah diobrak-abrik kemarahan bertaut kembali? Semua itu bisa pulih bila kita mau berendah hati. Pada hari besar ini seharusnya anak-anak kita belajar tentang ketulusan antar saudara, bukan sebuah persaingan berkosmetika silaturahim, yang menempatkan seseorang lebih tinggi diantara saudaranya yang lain.

Hari raya seharusnya lebih khusu’…. Tapi aku tak menemukannya lagi. Ia sama dengan hari-hari lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar