HARI RAYA –apakah itu Idul Fitri atau Idul Adha– tak terasa lagi indah. Indah yang
sebenar-benarnya, yang menyusup hingga ke hati seperti yang kurasakan ketika
masih bocah. Aku berangkat tidur pada malam dengan gema takbir sayup yang
menghangatkan hati. Dan paginya dibangunkan oleh dingin dan azan milik subuh sementara Mom di dapur memotong-motong
ketupat dan menghangatkan gulai lontong. Aku pun terburu-buru ke sumur, mandi,
berbedak wangi dan bersalin pakaian baru. Mom akan senang nanti melihat aku
sudah bersih dan siap berangkat ke lapangan untuk shalat. Satu hal kecil dariku
yang bisa membuatnya lebih bahagia hari itu.
Tapi anak-anak
dan ponakanku? Mereka masih meringkuk tidur, melewatkan shalat subuh. Satu persatu
mereka bangun untuk mandi kilat dan mengenakan pakaian menuju masjid. Mereka
telah melewatkan hal penting; meninggalkan satu ibadah wajib untuk satu
kegiatan sunat. Mereka memaknai hari raya hanya sebagai hari berkumpul
keluarga, menikmati hidangan enak, peroleh uang ekstra dan baju baru.
Hari raya
membebaskan mereka untuk berbuat yang agama kami tidak menghendakinya. Aku
melihat ketidakberdayaan dan mungkin pembolehan atas tingkah laku mereka.
Oh sudahlah…nanti sadar sendiri. Tidak perlu
ribut-ribut…ini hari raya, kata orangtua yang satu kepada yang lainnya. Hari
raya jangan diusik dengan peringatan tentang tata tertib agama. Ooh
begitukah???
Aku menjadi
bertanya…, dimana kah kini berada pendidikan komunal, saling ingat dan
memperingatkan di tengah kaum kerabat? Kenapa kami para orangtua tidak mampu
lagi menegakkan dasar agama itu diantara kami?
Aku melihat
kesombongan dan sifat pamer lebih berkuasa dibanding kerendahan hati. Mobil dan
gadget baru, promosi jabatan, prestasi sekolah anak-anak….semua hal berlomba
diungkapkan. Apakah ini tidak melelahkan? Bukankah semua itu diperoleh dengan
cara keras dan penuh perjuangan…mengapa tak dibiarkan keberhasilan-keberhasilan
itu menyelinap dengan damai ke semua hati dalam keluarga tanpa perlu banyak berkoar-koar….
Kalau
begitu hari raya menjadi tak beda dengan hari-hari lain. Untuk apa kita
berkumpul ketika ada hati yang diam-diam gelisah, terpinggirkan atau tidak
setuju dengan ke-riya-an itu? Kenapa tak biarkan tawa renyah kita berderai dan
kisi-kisi hati yang pernah diobrak-abrik kemarahan bertaut kembali? Semua itu
bisa pulih bila kita mau berendah hati. Pada hari besar ini seharusnya
anak-anak kita belajar tentang ketulusan antar saudara, bukan sebuah persaingan
berkosmetika silaturahim, yang menempatkan seseorang lebih tinggi diantara
saudaranya yang lain.
Hari raya
seharusnya lebih khusu’…. Tapi aku tak menemukannya lagi. Ia sama dengan
hari-hari lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar