Mengenai Saya

Foto saya
Jambi, Jambi, Indonesia
wonderful life starts from a wonderful heart

19 Desember 2011

Bila Mak Yuni Berhenti Bekerja


MAK YUNI menggandeng kedua tangan anaknya, bergegas menuju sekolah pemerintah yang berada sekitar 400 meter dari rumahnya. Tak lama lagi bel akan berbunyi, sementara kedua putri kembarnya yang baru berusia tujuh tahun, terlihat ceria meski kantuk masih membayang di mata mereka. Bedak yang berlepotan, aroma minyak kayu putih yang menghangatkan, samar tercium di udara pagi. Mak Yuni harus berpacu, mengantar anak ke sekolah dan kemudian singgah ke warung terdekat, membeli bahan mentah untuk lauk mereka hari ini. Dia harus cepat. Ada setumpuk jahitan yang menunggu diselesaikan. Sebagai tukang jahit yang cukup punya nama, dia tak mau mengecewakan langganan-langganannya.Baju-baju itu harus siap sesuai waktu yang dijanjikan.

Mak Yuni adalah satu contoh potret wanita Indonesia saat ini. Meski bukan sarjana, walau tak beraktivitas di luar rumah, kesibukannya menyerupai wanita karir yang menduduki posisi penting. Mak Yuni memiliki pekerjaan. Dia memiliki pendapatan yang jelas. Dia seorang tukang jahit.
Ada banyak potret lain wanita Indonesia yang bekerja di berbagai sektor. Mulai dari wanita pemulung sampah, pembuat kue, perias pengantin, tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri, penasehat hukum, hingga mereka yang beruntung menduduki jabatan strategis di pemerintahan atau perusahaan swasta. Tak ada penolakan atas keberadaan mereka karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang moderat. Lagi pula wanita-wanita itu bekerja dengan kemampuannya, dengan ketekunan serta kerja kerasnya dan didorong niatnya untuk menyejahterakan keluarga.
Peran wanita Indonesia dalam memperkuat ekonomi keluarga tak bisa dibantah. Wanita di Indonesia berbeda dengan mayoritas wanita di negeri muslim lainnya yang dilarang untuk beraktivitas di ruang publik. Ketika wanita di Arab Saudi misalnya, masih berjuang untuk memperoleh hak bersuara dalam pemilihan umum, seorang wanita Indonesia telah menjadi presiden dan puluhan telah menduduki kursi menteri. Ketika wanita di Afghanistan tidak diizinkan bersekolah umum, banyak generasi pemudi Indonesia yang masuk universitas bahkan berjaya meraih nilai tertinggi Indeks Pendidikan Komulatif (IPK).
Siapakah yang bisa membantah fakta ini? Bahkan jauh sebelum zaman Kartini, jutaan wanita telah berkebun, mengeringkan dan mengasinkan ikan atau membuat jamu untuk dipikul dan dijual ke kota-kota. Mereka bekerja dan mencipta sesuai dengan ilmu yang diwariskan kepada mereka dan penciuman tajam seorang wirausahawati sejati.
Namun, negara secara formal belum mengakui peran wanita dalam membangkitkan perekonomian bangsa. Fasilitas dan perlindungan yang diberikan kepada wanita Indonesia yang bekerja, terutama di level usaha kecil dan menengah sangat kurang. Janganlah lagi menyebut masalah TKW yang disiksa dan tak dibayar gaji di luar negeri, di dalam negeri saja belum terlihat perubahan kebijakan pemerintah terhadap wanita pekerja mandiri atau wirausahawati.
Sesungguhnya banyak wanita yang memiliki usaha kecil berpotensi berkembang menjadi usaha yang lebih besar, namun terkendala memperoleh modal usaha. Mak Yuni misalnya, berkeinginan membeli beberapa unit mesin jahit dan membuat butik kecil di samping rumahnya namun upah jahitan yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit belum cukup untuk membuat lompatan seperti itu.
Pemerintah lewat lembaga perbankan yang dimilikinya ternyata kurang percaya pada kemampuan para pekerja mandiri ini untuk mengembalikan modal yang mereka pinjam. Perbankan minta boroh sertifikat rumah atau tanah sementara banyak rumah belum memiliki tanda kepemilikan itu. Jika pun ada, sertifikat rumah itu seringkali atas nama suami dan suami merasa berat menyetujui peminjaman ke bank karena bunganya yang berat. Bisakah para wanita pengusaha kecil ini meminjam tanpa jaminan harta? Bisakah mereka menjaminkan kredibilitas diri mereka saja, toh uang yang dipinjam tak sebanyak pengusaha kelas kakap?
Beberapa jenis kredit perbankan menyaratkan tanda tangan suami jika seorang wanita ingin mengajukan pinjaman modal usaha. Mengapa hal itu masih diperlakukan? Bukankah pada banyak usaha keluarga, si istrilah yang menjadi pionir dan pemimpin usaha sementara si suami hanya sebagai pendukung, bahkan sering tak terkait samasekali karena memiliki pekerjaan lain. Masih adakah urgensi tanda tangan suami di sini?
Perubahan cara berpikir terasa lambat di kalangan pengambil kebijakan di Indonesia. Para pejabat masih memandang ke potret lama ketika wanita yang memiliki usaha di rumah, harus bertanya kepada suami apakah dia boleh begini dan begitu. Banyak laki-laki Indonesia yang kini berpikir moderat, bahkan sangat senang karena istrinya menghasilkan uang tanpa harus bekerja di luar rumah. Banyak suami yang membiarkan istri mengambil keputusan sendiri terhadap usaha yang dibangunnya, karena menurutnya si istri lebih tahu. Perubahan yang terjadi di masyarakat ini seharusnya dapat ditangkap dan diadopsi untuk memperbaiki pelayanan negara terhadap wanita.
Demikian juga di bidang pendidikan anak yang senantiasa menjadi konsern para wanita. Pertanyaan di hati mereka selalu muncul, apakah anak-anak mereka dididik dengan benar, apakah kesehatan dan keselamatan anak dijaga dengan baik di sekolah atau di tempat penitipan anak? Belum lagi masalah biaya pendidikan yang semakin tinggi dan kegiatan ekstra sekolah yang dipaksakan kepada anak-anak mereka. Kekhawatiran tersebut muncul karena lembaga pendidikan termasuk penitipan anak beroperasi dengan standar yang belum baku dan seringkali tidak dipatuhi. Kerisauan ini cukup mengganggu pencapaian dan totalitas mereka dalam bekerja.
Masalah kesehatan juga belum tersentuh. Karena peran ganda yang dilakoninya, banyak wanita mengabaikan kesehatannya. Pemerintah belum banyak memberi dukungan terhadap produktivitas wanita lewat bidang kesehatan, misalnya dengan memberi subsidi untuk cek kesehatan menyeluruh (general ceck-up) atau pemeriksaan kanker rahim yang banyak merenggut nyawa wanita Indonesia.
Meski peran wanita dalam perekonomian nyata, namun belum banyak yang telah dilakukan untuk mendukung atau membuat mereka nyaman bekerja. Jika wanita-wanita ini menyerah atau memutuskan untuk tak bekerja, dampaknya pasti akan besar sekali. Akan banyak keluarga Indonesia yang terpaksa menurunkan kualitas hidupnya, pasti akan banyak keluarga berkehidupan ekonomi menengah yang turun kasta menjadi ”keluarga miskin” atau setidaknya ”hidup sangat sederhana” karena tak ada lagi pendapatan istri yang ikut menopang keluarga itu. Pada gilirannya, negara pasti akan terdampak negatif karenanya. (Penulis : Asnelly Ridha Daulay)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar